" SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI, SEMOGA BERMANFAAT "

Kamis, 07 April 2011

Menikahlah di Usia Muda


Oleh : Muhammad Fathudin

Tulisan ini memang tidak update karena memang sudah sering dibahas, tapi setidaknya tulisan ini saya buat sebagai hasil dari sebuah renungan terhadap beberapa persoalan yang dihadapi sebagian teman. Mereka curhat dan cerita mengenai persoalan mereka tentang menikah yang pada akhirnya membuat saya berkesimpulan bahwa masih banyak orang yang menganggap menikah sebagai hal yang problematis. Saya tidak tahu kenapa masih ada anggapan demikian, namun paling tidak ada dua kemungkinan yang dapat saya temukan, pertama mungkin saja ada cerita dari sebagian orang yang sudah menikah dan kemudian menceritakan pengalaman pasca menikah dengan beragam keluh kesah yang dihadapinya, sehingga seringkali akhirnya menyarankan kepada yang lain supaya tidak menikah dulu. Kedua menikah menjadi sesuatu yang problematis karena kita mungkin selalu memenjarakan diri dengan berjuta-juta harapan/cita-cita dan merasa khawatir apabila memutuskan menikah di usia dini cita-cita bisa gagal. Okelah kalau begitu alasannya dan saya tidak menyalahkan siapapun yang menunda menikah, namun saya berada dalam posisi mendukung orang yang menyegerakan menikah. Berangkat dari persoalan diatas saya akan mencoba mulai dari bahasan seputar prinsip dasar dalam Syariat Islam mengenai perbuatan-perbuatan seorang mukallaf (yang dibebani syara ), sebagaimana dirumuskan dalam kaidah syara :

اَلاَْصْلُ فِي اْلاَفْعَالِ التَّقَيَّدُ باِلْحُكْمِ الشَّرْعِ


Hukum asal dalam perbuatan-perbuatan (mukallaf) adalah terikat dengan hukum syara.


Jadi perbuatan seorang muslim pasti mempunyai status hukum syara’, tidak terlepas atau terbebas dari ketentuan hukum-hukum Allah, apa pun juga jenis perbuatan itu. Oleh karena itu, seorang muslim wajib mengetahui hukum syara’ akan suatu perbuatan, sebelum dia melakukan perbuatan tersebut, apakah perbuatan tersebut dalam kategori wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram. Jika dia tidak mengetahui hukumnya, wajib baginya bertanya kepada orang-orang yang mengetahuinya. Firman Allah SWT :

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS : An Nahl : 43)

Dengan demikian, seorang muslim wajib mengetahui hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan yang dilakukannya. Jika perbuatan itu berkaitan dengan aktivitasnya sehari-hari, atau akan segera dia laksanakan dikemudian hari, maka hukumnya fardhu‘ain untuk mempelajari dan mengetahui hukum-hukumnya. Misalnya seorang muslim yang hendak menikah, maka wajib ‘ain baginya untuk mengetahui hukum-hukum seputar pernikahan (munakahat) seperti hukum khitbah, akad nikah, nafkah, hak dan kewajiban suami isteri, thalaq, ruju’, dan sebagainya. Adapun jika perbuatan itu tidak berkaitan dengan aktivitasnya sehari-hari, atau baru akan diamalkan di kemudian hari, hukumnya fardhu kifayah mengetahui hukum-hukumnya, sebagaimana dikemukakan oleh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitabnya Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz II, hal. 5-6. Misalkan seorang muslim yang mempelajari hukum-hukum jihad untuk diamalkan pada suatu saat nanti (tidak segera), maka hukumnya adalah fardhu kifayah. Mempelajari hukum-hukum nikah hukumnya adalah Fardhu kifayah bagi mereka yang akan melaksanakannya di kemudian hari, dan fardhu ‘ain bagi yang akan bersegera melaksanakannya dalam waktu dekat.

Bagaimana dengan menikah pada usia muda?


Pertanyaan ini sering terlontar dari beberapa teman yang masih dalam keraguan untuk menikah disaat usianya yang relatif masih muda. Beragam alasan kenapa seseorang menunda menikah, sebagian orang merasa belum berani menikah dengan alasan belum memiliki pekerjaan tetap, ada lagi yang merasa masih ingin menikmati masa muda dengan berkarir, ada yang sama sekali belum terpikir untuk menikah kendati kemampuan sudah dimiliki, bahkan ada yang lebih senang dan hobi pacaran sepanjang hidupnya daripada menikah. Saya ingin memberikan jawaban seputar masalah menikah di usia muda dan saya membedakan antara istilah usia dini dengan usia muda, usia dini saya lebih mengacu pada regulasi yang menetapkan sebagai usia dibawah umur dimana seseorang belum boleh melangsungkan pernikahan, sedangkan usia muda saya artikan sebagai usia yang masih relatif muda dan secara hukum sudah diperbolehkan untuk melangsungkan pernikahan, atau usia dimana seseorang masih menempuh pendidikan misalnya, atau usia muda bisa diartikan pula sebagai usia dimana seseorang merasa belum mapan. Berangkat dari persoalan tersebut, pertama kita akan melihatnya dari segi hukum, hukum asal menikah adalah sunnah (mandub) sesuai firman Allah SWT :

Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) satu orang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. (QS : An Nisaa` : 3)

Perintah untuk menikah dalam ayat di atas merupakan tuntutan untuk melakukan nikah (thalab al fi’il). Namun tuntutan tersebut tidak bersifat pasti/keharusan (ghairu jazim) karena adanya kebolehan memilih antara kawin dan pemilikan budak (milku al yamin). Maka tuntutan tersebut merupakan tuntutan yang tidak mengandung keharusan (thalab ghair jazim) atau berhukum sunnah, tidak wajib. Namun hukum asal sunnah ini dapat berubah menjadi hukum lain, misalnya wajib atau haram, tergantung keadaan orang yang melaksanakan hukum nikah. Jika seseorang tidak dapat menjaga kesucian (‘iffah) dan akhlaknya kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya. Sebab, menjaga kesucian (‘iffah) dan akhlak adalah wajib atas setiap muslim, dan jika ini tak dapat terwujud kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya, hal ini sesuai kaidah fiqih :

ماَ لا يَتِمُّ اْلوَاجِبُ اِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ.
Jika suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya.

Dapat juga pernikahan menjadi haram, jika menjadi perantaraan kepada yang haram, seperti pernikahan untuk menyakiti isteri, atau pernikahan yang akan membahayakan agama isteri/suami. Kaidah syara’ menyatakan :
الْوَصِلَة الى الحرام مُحَرّ مةَ
Segala perantaraan kepada yang haram hukumya haram.

Adapun menikah diusia muda, yaitu menikah dalam usia remaja atau muda, bukan usia tua, hukumnya menurut syara' adalah sunnah (mandub) sebagaimana yang dikemukakan oleh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitabnya An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam. Sabda Nabi Muhammad SAW :

ياَمَعْشَرَ الشَّباَبِ مَنِ اسْتَطاَعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَاَحْسَنُ لِلْفَرْجِ. وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ باِلصَّوْمِ فَاِنَّهُ وِجاَءٌ.

Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaknya kawin, sebab kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits tersebut mengandung seruan untuk menikah bagi para pemuda (asy syabab), bukan orang dewasa (ar-rijal) atau orang tua (asy syuyukh). Hanya saja seruan itu tidak disertai indikasi (qarinah) ke arah hukum wajib, maka seruan itu adalah seruan yang tidak bersifat harus (thalab ghairu jazim), alias mandub (sunnah). Pengertian pemuda (syab, jamaknya syabab) menurut Ibrahim Anis et.al (1972) dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith hal. 470 adalah orang yang telah mencapai usia baligh tapi belum mencapai usia dewasa (sinn al rujuulah). Sedang yang dimaksud kedewasaan (ar rujulah) adalah “kamal ash shifat al mumayyizah li ar rajul” yaitu sempurnanya sifat-sifat yang khusus/spesifik bagi seorang laki-laki.


Hukum Yang Bertalian dengan Menikah Muda

Menikah muda hakikatnya adalah menikah juga, hanya saja dilakukan oleh mereka yang masih muda dan fresh, seperti mahasiswa atau mahasiswi yang masih kuliah. Maka dari itu hukum yang berkaitan dengan nikah dini ada yang secara umum harus ada pada semua pernikahan, namun ada pula hukum yang memang khusus yang bertolak dari kondisi khusus, seperti kondisi mahasiswa yang masih kuliah yang mungkin belum mampu memberi nafkah. Hukum umum tersebut yang terpenting adalah kewajiban memenuhi syarat-syarat sebagai persiapan sebuah pernikahan. Kesiapan nikah dalam tinjaun fiqih paling tidak diukur dengan 3 (tiga) hal, Pertama, kesiapan ilmu, yaitu kesiapan pemahaman hukum-hukum fiqih yang berkaitan dengan urusan pernikahan, baik hukum sebelum menikah, seperti hukum khitbah (melamar), pada saat nikah, seperti syarat dan rukun aqad nikah, maupun sesudah nikah, seperti hukum nafkah, thalak, dan ruju`. Syarat pertama ini didasarkan pada prinsip bahwa fardhu ain hukumnya bagi seorang muslim mengetahui hukum-hukum perbuatan yang sehari-hari dilakukannya atau yang akan segera dilaksanakannya. Kedua, kesiapan materi/harta. Yang dimaksud harta di sini ada dua macam, yaitu harta sebagai mahar (mas kawin) sebagaimana Firman Allah SWT:

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan ( QS : an-Nisa : 4)

Makna harta yang kedua adalah harta sebagai nafkah suami kepada isterinya untuk memenuhi kebutuhan pokok/primer (al hajat al asasiyah) bagi isteri yang berupa sandang, pangan, dan papan, Firman Allah SWT :
Dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya (QS Al Baqarah : 233)

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. QS : Ath Thalaq : 6
Mengenai mahar, sebenarnya tidak mutlak harus berupa harta secara materiil, namun bisa juga berupa manfaat, yang diberikan suami kepada isterinya, misalnya suami mengajarkan suatu ilmu kepada isterinya. Adapun kebutuhan primer, wajib diberikan dalam kadar yang layak (bi al ma’ruf) yaitu setara dengan kadar nafkah yang diberikan kepada perempuan lain semisal isteri seseorang dalam sebuah masyarakat. Ketiga, kesiapan fisik/ kesehatan khususnya bagi laki-laki, yaitu maksudnya mampu menjalani tugasnya sebagai laki-laki, tidak impoten. Imam Ash Shan’ani dalam kitabnya Subulus Salam juz III hal. 109 menyatakan bahwa al ba`ah dalam hadits anjuran menikah untuk para syabab di atas, maksudnya adalah jima’. Khalifah Umar bin Khaththab pernah memberi penundaan selama satu tahun untuk berobat bagi seorang suami yang impoten (Taqiyuddin An Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam). Ini menunjukkan keharusan kesiapan “fisik” ini sebelum menikah. Ini adalah kesiapan menikah yang berlaku umum baik untuk yang menikah dini maupun yang tidak dini. Sedang hukum-hukum khusus untuk pernikahan dini dalam konteks pernikahan yang terjadi saat mahasiswa masih kuliah, adalah sebagai berikut :

Hukum Menikah Bagi Mahasiswa
Mahasiswa yang masih kuliah, berarti mereka sedang menjalani suatu kewajiban, yaitu menuntut ilmu. Sedangkan menikah hukum asalnya adalah tetap sunnah baginya, tidak wajib, selama dia masih dapat memelihara kesucian jiwa dan akhlaqnya, dan tidak sampai terperosok kepada yang haram meskipun tidak menikah. Karena itu, dalam keadaan demikian harus ditetapkan kaidah aulawiyat (prioritas hukum), yaitu yang wajib harus lebih didahulukan daripada yang sunnah. Artinya, kuliah harus lebih diprioritaskan daripada menikah. Jika tetap ingin menikah, maka hukumnya tetap sunnah, tidak wajib, namun dia dituntut untuk dapat menjalankan dua hukum tersebut (menuntut ilmu dan menikah) dalam waktu bersamaan secara baik, tidak mengabaikan salah satunya, disertai dengan keharusan memenuhi kesiapan menikah seperti diuraikan di atas, yakni kesiapan ilmu, harta, dan fisik.

Hukum Menikah Bagi Mahasiswa, Sedang Dia Tidak Dapat Menjaga Dirinya
Sebagian mahasiswa mungkin tidak dapat menjaga dirinya, yaitu jika tidak segera menikah maka dia akan terjerumus kepada perbuatan maksiat, seperti zina. Maka jika benar-benar dia tidak dapat menghindarkan kemungkinan berbuat dosa kecuali dengan jalan menikah, maka hukum asal menikah yang sunnah telah menjadi wajib baginya, sesuai kaidah syariat :

ماَ لا يَتِمُّ اْلوَاجِبُ اِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Jika suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya.

Hukum menikah yang telah menjadi wajib ini akan bertemu dengan kewajiban lainnya, yaitu menuntut ilmu, sebab kedua kewajiban ini harus dilakukan pada waktu yang sama. Jadi ini memang cukup berat dan sulit. Tapi apa boleh buat, kalau menikah wajib dilaksanakan mahasiswa pada saat kuliah, maka Syariat Islam pun tidak mencegahnya. Hanya saja, hal ini memerlukan keteguhan jiwa (tawakkal), manajemen waktu yang canggih, dan sekaligus mewajibkan mahasiswa tersebut memenuhi syarat-syaratnya, yaitu : Pertama, kewajiban menuntut ilmu tidak boleh dilalaikan. Sebab, di samping menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim, menuntut ilmu juga merupakan amanat dari orang tua yang wajib dilaksanakan. Syariat Islam telah mewajibkan kita untuk selalu memelihara amanat dengan sebaik-baiknya, dan ingatlah bahwa melalaikan amanat adalah dosa dan ciri seorang munafik.
Kedua, kewajiban yang berkaitan dengan kesiapan pernikahan nikah harus diwujudkan, khususnya kesiapan memberikah nafkah. Jika mahasiswa sudah bekerja sehingga mampu memberi nafkah kepada isterinya kelak secara patut dan layak, maka menikah saat kuliah tidak menjadi masalah. Namun perlu diingat, bekerja memerlukan waktu, pikiran, dan tenaga yang tidak sedikit. Perhatikan betul manajemen waktu agar kuliah tidak ngelantur dan terbengkalai. Adapun jika mahasiswa sudah bekerja namun gajinya tidak mencukupi, atau tidak bekerja sama sekali karena tidak memungkinkan karena kesibukan kuliah, maka kewajiban nafkah berpindah kepada ayah mahasiswa. Sebab mahasiswa tersebut berada dalam keadaan tidak mampu secara hukum (‘ajiz hukman), maka dia wajib mendapat nafkah dari orang yang wajib menafkahinya, yaitu ayahnya hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Abdurrahman Al Maliki dalam kitabnya As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 165. Syariat telah mewajibkan seorang ayah menafkahi anaknya sebagaimana dijelaskan dalam surat al-baqarah ayat 233 seperti yang disebutkan diatas.
Sebenarnya nafkah ayah kepada anak (walad) hanya sampai anak itu baligh, atau sampai anak itu mampu mencari nafkah sendiri. Namun kalau anak itu tidak mampu secara nyata/fisik (‘ajiz fi’lan) seperti cacat, atau tidak mampu secara hukum (‘ajiz hukman) –walaupun sudah baligh atau sudah bekerja tapi tidak cukup— maka sang ayah tetap berkewajiban memberikan nafkah. Jika ayah tidak mampu, maka kewajiban nafkah ini berpindah kepada kerabat-kerabat (al ‘aqarib) atau ahli waris (al warits) si lelaki (mahasiswa) sesuai firman-Nya :

Dan warispun berkewajiban demikian (yaitu memberikan nafkah). (TQS Al Baqarah : 233)

Ayat di atas merupakan kelanjutan (‘athaf) dari ayat :

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara ma’ruf (layak) (TQS Al Baqarah : 233)

Karenanya, jika ayah tidak mampu juga memberikan nafkah, maka kewajiban ini berpindah kepada kerabat atau ahli waris mahasiswa. Jika kerabat juga miskin atau tidak mampu, sebenarnya Syariat Islam tetap memberikan jalan keluar, yaitu nafkahnya menjadi tanggung jawab negara (Daulah Khilafah Islamiyah) sebab negara dalam Islam berkewajiban menanggung nafkah orang-orang miskin yang menjadi rakyatnya.

Kewajiban Menjaga Iffah (Kesucian)

Syariat Islam sebenarnya telah secara preventif menetapkan hukum-hukum yang jika dilaksanakan, kesucian jiwa dan akhlaq akan terjaga, dan para pemuda terhindar dari kemungkinan berbuat dosa, seperti pacaran dan zina. Berikut ini beberapa hukum tersebut :

1). Islam telah memerintahkan baik kepada laki-laki maupun wanita agar menundukkan pandangannya serta memelihara kemaluannya, dengan firman Allah SWT :
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman,’Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat’. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemauannya. (QS An-Nur:30-31)
2). Islam telah memerintahkan kaum laki-laki maupun kaum wanita agar menjauhi perkara-perkara yang syubhat, dan menganjurkan sikap hati-hati agar tidak tergelincir dalam perbuatan ma'siyat kepada Allah, serta menjauhkan diri dari pekerjaan, atau tempat apa pun tidak berbaur dengan kondisi dan situasi apapun yang di dalamnya terdapat syubhat, supaya mereka tidak terjerembab dalam perbuatan yang haram. Rasulullah SAW bersabda :
Sesungguhnya yang halal telah jelas, begitu pula yang haram telah jelas; dan diantara dua perkara itu terdapat syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barang siapa berhati-hati dengan tindakan syubhat sesungguhnya ia telah menjaga agama dan dirinya, dan barang siapa yang melakukan tindakan syubhat, maka ia telah melakukan tindakan yang haram, sebagaimana halnya seorang penggembala yang menggembalakan kembingnya di seputar pagar, kadang-kadang bisa jatuh melewati pagar itu. Ketahuilah sesungguhnya setiap penguasa memiliki pagar pembatas, dan sesungguhnya pagar (batas) Allah adalah apa yang diharamkannya. (HR. Bukhari)
3). Bagi mereka yang tidak mungkin melakukan pernikahan disebabkan oleh keadaan tertentu, hendaknya memiliki sifat 'iffah, dan mampu mengendalikan nafsu. Allah SWT berfirman :
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya sehingga Allah memberikan kepada mereka kemampuan dengan karunia-Nya. (TQS. An Nur : 33)
4). Islam melarang kaum laki-laki dan wanita satu sama lain melakukan khalwat. Yang dimaksud dengan khalwat adalah berkumpulnya seorang laki-laki dan seorang wanita di suatu tempat yang tidak memberikan kemungkinan seorang pun untuk masuk tempat itu kecuali dengan izin kedua orang tadi, seperti misalnya berkumpul di rumah, atau tempat yang sunyi yang jauh dari jalan dan orang-orang. Sabda Nabi SAW :
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah jangan melakukan khalwat dengan seorang wanita yang tidak disertai mahram, karena sesungguhnya yang ketiga itu adalah syaithan.
5). Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk mengenakan pakaian sempurna, yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya; dan hendaknya mereka mengulurkan pakaiannya sehingga mereka dapat menutupi tubuhnya. Allah SWT berfirman :
Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung (khimar) ke dadanya (TQS An Nuur: 31)
Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. (TQS Al Ahzab: 59)
7). Islam melarang seorang wanita melakukan safar (perjalanan) dari suatu tempat ke tempat lain selama perjalanan sehari semalam, kecuali apabila disertai dengan mahramnya. Rasulullah SAW bersabda:
Tidak dibolehkan seorang wanita yang beriman kepada Allah SWT dan Hari Akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali bila disertai mahramnya.

Wallahu a'lam bi Shawab........................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar